askep rinitis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang dan cepat.
    Rinitis ini bisa menyerang siapa saja, dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini harus ditangani secara cepat untuk menghindari terjadinya komplikasi pada rinitis. Maka dari itu, dalam makalah ini membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien rinitis.
1.2    Tujuan Penulisan
1.    Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara benar dan tepat pada pasien penderita Rinitis.
2.    Tujuan Umum
a.    Mahasiswa mampu memahami tentang anatomi dan fisiologi
b.    Mahasiswa mampu memahami definisi rinitis
c.    Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi rinitis
d.    Mahasiswa mampu memahami tentang klasifikasi rinitis
e.    Mahasiswa mampu memahami tentang faktor resiko
f.    Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinis rinitis
g.    Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologis rinitis
h.    Mahasiswa mampu memahami tentang komplikasi rinitis
i.    Mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan penunjang rinitis
j.    Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan dari rinitis
k.    Mahasiswa mampu memahami tentang pengkajian keperawatan rinitis
l.    Mahasiswa mampu memahami tentang diagnosa dan intervensi keperawatan rinitis

1.3    Sistematika Penulisan
Dalam menyusun makalah ini penulis membagi atas beberapa bab dan tiap-tiap bab penulis bagi menjadi beberapa bagian. Adapun isi dari tiap-tiap bagian tersebut adalah:
1.    Bagian formalitas, terdiri dari Halaman Judul, Kata Pengantar dan Daftar Isi.
2.    Bagian isi terdiri dari:
BAB I     Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II    Tinjauan Teori, meliputi: Anatomi dan Fisiologi, Definisi rinitis, klasifikasi rinitis, Etiologi, Manifestasi Klinis, Patofisiologi, Faktor Resiko,  Pathway, Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang, dan Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan.
BAB III    Asuhan Keperawatan, meliputi: Pengkajian Keperawatan, Diagnosa dan Intervensi Keperawatan.
BAB IV    Penutup, meliputi: Kesimpulan dan saran
3.    Bagian akhir, berisi daftar pustaka yang digunakan penulis dalam mencari resensi buku.


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.2  Definisi Rinitis
    Rinitis atau hidung tersumbat adalah suatu gejala yang paling sering ditemukan dan etiologinya dapat alergi ataupun non-alergi.(Swartz, Mark H,1995).
Rinitis adalah peradangan pada selaput lendir hidung. (Dorland, 2002 ).
    Rinitis adalah suatu inflamasi membran mukosa hidung dan mungkin dikelompokkan baik sebagai rinitis alergik maupun non alergik.(Brunner & Suddart,2001:548).
    Menurut WHO tahun 2001, rinitis adalah kelainan hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E. (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:128).

2.3 Klasifikasi Rinitis
1.    Menurut sifatnya rinitis dapat dibedakan menjadi :
a)    Rinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
b)     Rinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor. (Nunanana:2012).

2.    Berdasarkan penyebabnya, rinitis dapat dibedakan menjadi:
a)    Rinitis alergi
    Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik atau pada partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:128).
    Gejala klinis yang muncul pada fase akut (dalam 5 menit setelah terpajan alergen), manifestasi rinitis alergi berupa bersin, gatal di hidung, dan rinorea cairan. Selama fase lanjut (4-8 jam setelah pajanan), gejala utama rinitis alergi adalah kongesti nasal.
(Greenberg,2008:126)

     Macam-macam rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
a.    Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Alergi ini hanya terdapat di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat yaitu polinosis dengan gejala klinik hidung dan mata merah, gatal disertai lakrimasi. (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:129). 
b.    Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan lebih sering pada anak-anak.(Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:130).
b)    Rinitis Non Alergi
    Rinitis non alergi disebabkan oleh infeksi saluran napas karena masuknya benda asing kedalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa, penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti hipertensif.
Macam-macam rinitis non alergi, yaitu:
a. Rinitis vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, dan obat topical hidung dekongestan).(Arsyad, 2010: 135).
b. Rinitis medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu keadaan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat juga dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
Pada rinitis ini, pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan secret hidung yang berlebihan. Dan apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang. (Arsyad, 2010: 137).

2.4 Etiologi
1)    Rinitis alergi
        Rinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
a)    Immediate Phase Alergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga 1 jam setelahnya.
b)    Late Phase Alergic Reaction, Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
a)    Alergen inhalan, masuk bersama udara pernapasan, misalnya tungau, debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang ( kucing, anjing), rerumputan serta jamur.
b)    Alergen ingestan, masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, dan udang.
c)    Alergen injektan, masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
d)    Alergen kontaktan, masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
                                                (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:129).
2)    Rinitis non alergi
a)    Rinitis Vasomotor
Pada rinitis vasomotor, gejala dapat dicetuskan oleh berbagai rangsangan non spesifik, seperti obat-obatan, faktor fisik, faktor endokrin, faktor psikis seperti emosi.
b)    Rinitis Medikamentosa
    Pemakaian vasokonstriktor (tetes hidung/ semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan.

2.5 Faktor Resiko
Seseorang akan mudah atau mungkin lebih mudah mengalami rinitis alergi ketika :
•    Memiliki riwayat alergi seperti asma atau gatal-gatal pada kulit
•    Riwayat keluarga dengan rinitis alergi atau asma dan alergi jenis lain
•    Tinggal di tempat yang sering terpapar alergen seperti bulu binatang. (Nunanana:2012)

2.6  Manifestasi Klinis
    Tanda dan gejala rinitis adalah bersin-bersin, kongesti nasal, mengeluarkan sekresi hidung yang berlebih (rinore), timbulnya rasa gatal pada: hidung, palatum, faring, serta telinga, mata yang gatal dan kemerahan, serta keluarnya air mata dapat juga terjadi. Sehingga menyebabkan rasa yang tidak enak. Pada penderita rinitis yang khas datang dengan penyumbatan hidung bilateral akibat dari edema basah membran mukosa. Seringkali, mukosa yang berlebih ditumpuk pada dasar hidung, membran mukosa berwarna kebiruan dan agak pucat. Dan menyebabkan gejala sistemik seperti malaise, gelisah, dan selera makan berkurang, nyeri kepala, suara hidung. (Behrman Kliegman Arvin,1999:773)

2.7  Patofisiologis
1)    Rinitis Alergi
    Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti tahap provokasi/reaksi alergi.pada kontak  pertama dengan alergen, makrofag dan monosit sebagai penyaji akan menangkap allergen yang menempel dimukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA (Human Leukosit Antigen) dan akan membentuk komplek peptida MHC (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian akan bertemu oleh sel T helper.
    Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin dan sel T helper akan berproliferasi (memperbanyak diri) yang menghasilkan berbagai sitokin dan sel limfosit B dalam darah akan mengikat sitokin tersebut. Mengakibatkan sel limfosit B akan menjadi aktif dan akan menghasilkan Ig E. Ig E di aliran darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh mastoid/basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa ini terpapar allergen yang sama, Ig E akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel mastoid & basofil) yang mengakibatkan mediator kimia terlepas (histamin).
    Histamin ini akan merangsang H1 pada ujung syaraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Dan histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan pemeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore yang akan terjadi hidung tersumbat sehingga akan mengakibatkan obstruksi saluran pernafasan. (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:128).
2)    Rinitis non alergi
Pemakaian topikan vasokonstriktor berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang setelah vasokonstriksi sehingga timbul gejala obstruksi. Hal ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih lama lagi memakai obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa adrenergic yang tinggi di mukosa hidung. dan akan diikuti penurunan sensitivitas reseptor alfa adrenergic di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung) menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung dalam waktu lama ialah: silia akan rusak, sel goblet berubah ukurannya,  membran basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma tampak edema, hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan pH secret hidung, lapisan sub mukosa menebal dan lapisan periostium menebal. Oleh karena itu pemakaian obat vasokonstriktor sebaiknya tidak lebih dari satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat isotonik dengan sekret hidung normal (pH antara 6,3 dan 6,5). (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:137).

2.8 Pathway
Terlampir

2.9 Komplikasi
1.    Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.
2.    Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3.    Sinusitis rhinogenik
Otitis media dan sinusitis rhinogenik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase. (Nunanana:2012).

2.10 Pemeriksaan Penunjang
1.    Pemeriksaan nasoendoskopi
Untuk mengetahui adanya gejala persisten dengan mukosa inferior tampak hipertrofi.
2.    Pemeriksaan sitologi nasal
Memperlihatkan peningkatan sel goblet, sel mast, dan eosinofil.
3.    Hitung eosinofil pada darah tepi
4.    Uji kulit alergen penyebab
    Tes ini mencakup tes temple (patch test), tes gores (scratch test), tes cukit (prick test), dan tes intradermal. Semua tes ini menggunakan cara berupa pmberian allergen yang dicurugai dalam jumlah yang diketahui ke dalam kulit. Tes ini berdasarkan prinsip bahwa antibodi yang mensensitisasi kulit pada sel mast jaringan bereaksi dengan antigen. Reaksi positif timbul dealam bentuk bentol dan kemerahan pada kulit. (Nunanana:2012)

2.11 Penatalaksanaan
1)    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanan medis rinitis tergantung pada penyebabnya, yang mungkin diidentifikasi dengan riwayat kesehatan komplit dan menanyakan pasien tentang kemungkinan pemajanan terhadap alergen di rumah, lingkungan atau tempat kerja.
1.    Penghindaran alergen
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2.    Medikamentosa
1)    Antihistamin
    Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
    Antihistamin dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
a)    Golongan antihistamin generasi 1 (klasik), bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Misalnya: difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siprohiptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
b)    Golongan antihistamin generasi 2 (non sedatif), bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak, bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik dan efek pada SSP minimal (non sedatif).
        Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta selektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.ttoksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
2)    Kortikosteroid
    Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidungakibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.
3)    Antikolinergik
    Preparat antikolinergik topikal adalah iprartopium bromide bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Ipratropium intranasal dapat mengurangi rinorea tetapi tidak mengatasi inflamasi.
3.    Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4.    Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual. (Efianty Arsyad Soepardi,dkk.,2010:132).

2) Pencegahan
Dibawah ini merupakan pencegahan pada rinitis:
1.    Tutuplah jendela dan pintu, baik pada siang maupun malam hari. Gunakan AC untuk membantu mengurangi jumlah pollen yang masuk ke dalam rumah anda. Jangan gunakan kipas dengan buangan keluar (exhaust fan) karena dapat membawa lebih banyak pollen masuk ke dalam rumah anda.
2.    Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin.
3.    Cegah membawa pulang pollen masuk ke rumah setelah anda bepergian:
-    Segeralah mandi dan ganti baju dan celana yang anda pakai di luar.
-    Keringkan pakaian anda dengan mesin pengering, jangan jemur di luar.
4.    Hindari aktivitas yang membuat anda terpapar dengan mold, seperti berkebun (terutama saat bekerja dengan kompos), memotong rumput.
5.    Buanglah jauh-jauh dari rumah anda daun-daun yang berguguran, potongan rumput, dan kompos.
6.    Bersihkan kamar mandi, bathtubs, shower stalls, shower curtains, dan karet-karet jendela paling sedikit sebulan sekali dengan disinfektan atau cairan pemutih. Gunakan pemutih dengan hati-hati, karena dapat membuat hidung anda teriritasi. Jika hidung anda teriritasi, gejala alergi anda dapat memburuk.
7.    Rumah harus ada aliran udara yang baik dan kering.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan
a)    Identitas klien: Nama, jenis kelamin, umur, alamat, suku bangsa, penangggung biaya.
b)    Keluhan utama: Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal.
c)    Riwayat peyakit dahulu: Apakah pasien pernah menderita penyakit THT sebelumnya.
d)    Riwayat keluarga: Apakah keluarganya ada yang menderita penyakit yang di alami pasien
e)    Pemeriksaan fisik :
-    Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid
-    Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi
f)    Pemeriksaan penunjang :
-    Pemeriksaan nasoendoskopi
-    Pemeriksaan sitologi hidung
-    Hitung eosinofil pada darah tepi
-    Uji kulit alergen penyebab

3.2 Diagnosa Keperawatan
1)    Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi /adanya secret yang mengental
2)    Gangguan persepsi sensori penciuman b.d penurunan fungsi penciuman
3)    Gangguan pola tidur b.d kesulitan bernapas saat tidur
4)    Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia

3.3 Intervensi
1)    Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi /adanya secret yang mengental
NOC: menunjukkan bersihan jalan nafas efektif
NIC : penghisapan jalan nafas
Activity:
a)    Kaji faktor yang berhubungan seperti nyeri, batuk tidak efektif, mucus kental
b)    Kaji penumpukan sekret yang ada
c)    Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret
d)     Observasi tanda-tanda vital

2)    Gangguan persepsi sensori penciuman b.d penurunan penciuman
NOC: tingkat inhalasi atau pelarutan zat kimia dalam saliva dirasakan dengan tepat
NIC : manajemen lingkungan
Activity:
a)    Identifikasi factor yang menimbulkan gangguan persepsi sensori penciuman
b)    Pantau kemampuan pasien untuk membedakan sensasi tajam atau tumpul dan panas atau dingin
c)    Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap deficit tertentu

3)    Gangguan pola tidur b.d kesulitan bernapas saat tidur
NOC: Klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
NIC : Manajemen lingkungan
         Activity:
a)    Kaji kebutuhan tidur klien.
b)    Ciptakan suasana yang nyaman
c)    Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d)    Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat

4)    Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
NOC: selera makan bertambah
NIC : Manajemen nutrisi
Activity:
a)    Identifikasi faktor yang mempengaruhi kehilangan selera makan pasien (seperti obat dan masalah emosi)
b)    Ketahui makanan kesukaan pasien
c)    Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalnya pidahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang)
d)    Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Rinitis adalah suatu inflamasi membran mukosa hidung dan mungkin dikelompokkan baik sebagai rinitis alergik maupun non alergik. Alergi hidung ini sering dijumpai oleh semua golongan baik dewasa maupun anak-anak. Rinitis disebabkan oleh adanya allergen seperti debu, tungau, spora jamur yang dihirup. Atau akibat hormonal, dan pada vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan.
Hal ini dapat menimbulkan gejala-gejala seperti: bersin-bersin, kongesti nasal, mengeluarkan sekresi hidung yang berlebih (rinore), penyumbatan hidung, timbulnya rasa gatal pada: hidung, palatum, faring, serta telinga, mata yang gatal dan kemerahan, serta keluarnya air mata dapat juga terjadi. Penatalaksanaan nya dapat berupa: Penghindaran alergen, antihistamin, anti inflamasi, anti kolinergis, nasal steroid dan tindakan operatif (konkotomi parsial) bisa dilakukan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan. 
4.2 Saran
1.    Sebagai seorang perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien rinitis secara tepat dan benar.
2.    Pada pasien yang menderita rinitis hendaknya menghindari alergen atau iritan seperti debu, asap, bau yang dapat memperparah keadaan.
3.    Kebersihan lingkungan harus tetap dijaga, agar tidak muncul suatu alergen.


  DAFTAR PUSTAKA

    Arvin, Behrman Kliegman.1999.Nelson Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:EGC

    Brunner & Suddart. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC

    Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGc

    Greenberg.2008.Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan.Jakarta: Erlangga

    Lhizaspears. 2009. ” anatomi-histologi-dan-fisiologi-hidung”. (Online). (http://lhizaspears21.blogspot.com/2009/07/anatomi-histologi-dan-fisiologi-hidung.html,diakses pada 23 Mei 2013)

    Nunanana. 2012. ”Asuhan Keperawatan Pasien Pada Rinitis”. (Online). (http://nunanana.blogspot.com/2012/06/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan.html,diakses pada 25 Mei 2013)

    Soepardi, Efianty Arsyad,dkk.2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Kepala & Leher edisi 6. Jakarta:FKUI

    Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : diagnosis NANDA, intervensi NIC, criteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : askep rinitis