KONSEP DASAR
1. Definisi
Status epileptikus adalah (aktifitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran. (Muttaqin, Arif.2008)
Menurut WHO (Chadwick, 1991) Epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagai macam penyabab yang ditandai serangan kejang berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak
2. Klasifikasi
Ada dua golongan utama dari epilepsy, yaitu serangan parsial atau fokal yang mulai pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya didaerah korteks serebri; dan serangan umum yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon.
Epilepsi Parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup gejala-gejala motorik atau sensorik.
Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar atau mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, mengalami sinar, bunyi, ban, atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.
Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan proses berfikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan atau peka rangsangan. Focus epileptik pada jenis epilepsi ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan umum (motorik utama).
Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Mungkin ada kekakuan pada seliruh tubuh yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot. (Muttaqin, Arif.2008)
3. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
b. Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus
c. Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.
Faktor pencetus Status Epileptikus :
1) Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2) Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
3) Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
4) Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi
4. Manifestasi Klinis
Pada SE konvulsivus manifestasi klinis dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut:
a. Pre-status, adalah suatu fase sebelum status yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya SE.
b. Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana aktivitas serangan konvulsif terus menerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis.
b. Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana aktivitas serangan konvulsif terus menerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis.
c. Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit, yang mana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan terjadilah perubahan-perubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh.
d. Refracter status jika kejang berlangsung lebih dari 60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan antikonvulsan lini pertama.
e. Substle status/super refrakter status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma dengan aktivitas motorik menjadi terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching) sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan gambaran EEG menjadi flat di antara letupan-letupan epileptiform (burt-supression pattern).
5. Pathofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
b. Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
c. Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak dengan SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.
7. Komplikasi
- Iskemik jaringan otak
- AMI
- Apneu
- Hipertensi
8. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah sebagai berikut:
Tindakan suportif :
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama), yaitu ABC:
a. Airway: Bebaskan jalan nafas
b. Breathing: Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas
c. Circulation: Pertahankan sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan
Hentikan kejang secepatnya
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama):
Pilihan I: Golongan Benzodiazepin (Lorazepam, Diazepam)
Pilihan II: Phenytoin
Pilihan III: Phenobarbital
- Pemberian obat anti kejang lanjutan
- Cari penyebab status epileptikus
- Penatalaksanaan penyakit dasar
- Penatalaksanaan penyakit dasar
- Mengatasi penyulit
Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan Midazolam, atau Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital) atau Inhalasi dengan bahan isoflurane.
ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa dan Intervensi keperawatan
1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang berulang, penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria hasi : Klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk merunkan intensitas kejang
Intervensi :
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga cara penanganan saat kejang
Rasional : Data dasar untuk intervensi selanjutnya
b. Ajarkan klien dan keluarga metode mengontrol demam
Rasional: Orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diintruksikan tentang metode untuk mengontrol demam (kompres dingin, obat antipiretik)
c. Anjurkan kontroling pasca cedera kepala
Rasional: Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah
d. Kolaborasi pemberian terapi fenitoin (dilantin)
Rasional: Terapi medikasi untuk mengontrol penurunan respon kejang berulang.
2. Nyeri akut berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang (postikal).
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam keluhan nyeri berkurang atau rasa sakit terkontrol
Kriteria Hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dan klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit
Intervensi:
a. Lakukan menejemen nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi nafas dalam.
Rasional: Membantu menurunkan (memutuskan) stimulasi sensasi nyeri
b. Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati.
Rasional: Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit/tidak nyaman
c. Kolaborasi pemberian analgesic
Rasional: Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit.
3. Ansietas berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi kecemasan klien hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, dan menyatakan kecemasan berkurang/hilang.
Intervensi:
a. Bantu klien mengekspresikan perasaan takut
Rasional: Ketakutan berkelanjutan memberikan dampak psikologis yang tidak baik.
b. Hindari konfrontasi.
Rasional : Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah dan mungkin memperlambat penyenbuhan
c. Ajarkan kontrol kejang
Rasional: kontrol kejang bergantung pada aspek pemahaman dan kerjasama klien.
4. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan suplai O2 turun
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam diharapkan suplai O2 dapat terpenuhi
Kriteria hasil :TTV stabil, klien berkomunikasi dan berorientasi dengan baik
Intervensi:
a. Pantau TTV
Rasional: Tanda vital merupakan salah satu indicator keadaan umum dan sirkulasi pasien
b. Pantau tingkat kesadaran
Rasional: Tingkat kesadaran seseorang juga dipengaruhi oleh perfusi oksigen ke otak
c. Berikan terapi oksigen yang adekuat
Rasional; Mencegah hipoksia otak lebih berat
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika
Suwarba, ngurah.2012. “Menajemen Terkini Kejang dan Status Epileptikus Pada Anak”. (Online).(http://ngurah suwarba.wordpress.com/2012/11/13/manajemen-terkini-kejang-dan-status-epileptikus-pada-anak.html/diakses,15 Mei 2013)
Terimaksih sudah membaca askep epilepsi semoga bermanfaat untuk anda
Terimaksih sudah membaca askep epilepsi semoga bermanfaat untuk anda