BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Didunia diperkirakan terjadi 30 juta kasus BPH, dan BPH hanya terjadi pada pria karena wanita tidak memiliki kelenjar prostat.
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormone testosterone, yang didalam sel-sel kelenjar prostat hormone ini akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron ( DHT ) dengan bantuan enzim 5α reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA didalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis proein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi. ( Basuki B Purnomo, 2008:69)
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umum diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Semakin maju dan berkembangnya sebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang makin maju maka kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat.
BAB II
TINJAUAN TEORI
TINJAUAN TEORI
1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan
1.2 Definisi Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
Berikut ini pengertian BPH dari beberapa ahli, diantaranya:
a. Hiperplasia Prostatitis Benigna (benign protatic hyperplasia – BPH) adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria. (Nursalam & Fransisca, 2009: 135)
b. Hiperplasia prostat Benigna atau BPH ( Benign Prostat Hiperplasia ) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika.(Arif muttaqin dan Kumala sari, 2011:257)
c. Hiperplasia prostat atau BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyebabkan uretra pars prostatika buntu dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. ( Basuki B Purnomo, 2008:69)
1.3 Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron ( DHT) dan proses penuaan.
Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat, yaitu sebagai berikut:
1. Dihydrotestoteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron. Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma-epitel. Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit. (Arif muttaqin dan kumala sari, 2011: 257)
1.4 Faktor Resiko Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
Factor resiko pada BPH antara lain:
1. Usia, semakin tua akan meningkatkan resiko terkenanya BPH
2. Laki-lakiyang sering gonta-ganti pasangan.
3. Pecandu alcohol atau kopi. (Ricci, Ignacio, 2012)
1.5 Manifestasi Klinik Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah ( LUTS ) terdiri atas gejala obstruksi dan iritatif. Gejala obstruksi yang nampak antara lain: hesitansi, pancaran miksi lemah, intermitensi, miksi tidak puas dan menetes setelah miksi; sedangkan pada gejala iritatif gejalanya antara lain: terjadi frekuensi, nokturi, urgensi dan disuri. ( Basuki B Purnomo, 2008:73)
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan dipinggang ( yang merupakan tanda dari hidronefrosis ), atau demam yang merupakan tanda dari ifeksi atau urosepsis. ( Basuki B Purnomo, 2008: 75)
c. Gejala diluar saluran kemih
Keluhan yang muncul antara lain adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Kedua penyakit ini timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga meningkatkan tekanan intraabdominal. Pada pemeriksaan fisik didapatkankan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus didaerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasie yang merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. ( Basuki B Purnomo, 2008:75 )
1.6 Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
Sejalan dengan bertambahnya umur, kelenjar prostat akan mengalami hyperplasia. Jika prostat membesar, maka akan meluas ke atas (kandung kemih) sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa: hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula, dan divertikel kandung kemih.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal. (Arif muttaqin dan kumala sari, 2011: 258)
Obstuksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini dikarenakan terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen static sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat. ( Basuki B Purnomo, 2008:73 )
1.7 Pathway Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
Terlampir
1.8 Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
a. Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih.
b. Gross hematuria dan urineary tract infection (UTI).
c. Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis. (Nursalam & Fransisca, 2009: 137)
1.9 Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
a. Penatalaksanaan medikametosa
Tujuan terapi medikametosa adalah berusaha untuk: mengurangi resistensi otot polos postat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa ( adrenergic alfa blocker ) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone atau dihidrotestosteron ( DHT ) melalui penghambat 5α reduktase. ( Basuki B Purnomo, 2008:76)
1) Penghambat reseptor adrenergic-α seperti:
a) Fenoksibenzamin : mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
b) Prazosin, terazosin, afluzosin dan doksazosin yang diberikan 2x sehari yang dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine.
c) Tamsulosin : mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
2) Penghambat 5α-reduktase seperti:
a) Finasteride 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluuhan miksi dan pancaran miksi.
b) Fitoterapi ( Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dll ) : anti esterogen, anti androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin ( SHBG ), inhibisi basic fibroblast growth factor ( BFGF ) , efek anti inflamasi, menurunkan outflow resistancedan memperkecil volume prostat. (Basuki B Purnomo, 2008:78)
b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Pemeriksaan rektal, tampak lembek, dan lunak pembesaran prostat simetrik. (Nursalam & Fransisca, 2009: 136)
2) Pemeriksaan fisis mungkin akan didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus didaerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari pasien yang merupakan pratanda inkontinensia urine. (Basuki B Purnomo, 2008:75)
3) Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan mungkin diantara lobus prostat tidak simetris. (Basuki B Purnomo, 2008:75)
4) Berikan penjelasan pada pasien agar mengurangi konsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi makanan yang dapat mengiritasi buli-buli seperti coklat, batasi penggunaan obat-obatan influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin serta jangan menahan kencing terlalu lama. (Basuki B Purnomo, 2008:77)
c. Pemeriksaan laborat
1) Urinalisis untuk menemukan hematuria dan infeksi. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap antimikroba yang diujikan.
2) Serum kreatinin dan BUN untuk mengevaluasi fungsi ginjal.
3) Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
4) Serum PSA untuk mengetahui adanya kanker, tetapi mungkin terdapat peningkatan pada BPH.
5) Diagnostik pilihan untuk evaluasi lanjutan, yaitu :
a) Urodynamic
b) USG
c) Cytourethroscope untuk mengamati uretra, kandung kemih, dan ukuran prostat. (Nursalam & Fransisca, 2009: 136)
d. Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang mengalami tidak menunjukkkan perbaikan setelah terapi medikametosa, mengalami retensi urine, mengalami infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal dan timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah. (Basuki B Purnomo, 2008:79)
Pembedahan yang dapat dilakukan antara lain:
1) Operasi prostatektomi terbuka
Dapat dilakukan pada daerah suprapubik transvesika atau retropubik infravesikal. Pembedahan ini dianjurkan untuk prostat yang sangat besar ( >100 gram ). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urine (3 %), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100% dengan angka mortalitas sebanyak 2%. (Basuki B Purnomo, 2008:79)
2) Elektrovaporisasi Prostat
Cara ini memakai teknik roller ballyang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram), tidak banyak menimbulkan perdarahan saat operasi dan masa mondok di rumah sakit lebih singkat namun membutuhkan waktu operasi yang lebih lama. (Basuki B Purnomo, 2008:81)
3) TURP ( Transurethral Resection of the Prostate )
Dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan ( pembilas ) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan berupa laturan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai yaitu H2O ( aquades ). Kerugian aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui vena yang terbuka saat reseksi. Kelebihan aquades dapat menyebabkan hiponatremia relative atau gejala intoksikasi air atau sindroma TURP. Sindrom ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan bradikardi. Jika tidak segera diatasi pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP sebesar 0,99 %.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP tindakan reseksi tidak boleh dilakukan lebih dari 1 jam dan untuk mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik dapat dipasang sistostomi suprapubik dahulu sebelum reseksi. Basuki B Purnomo, 2008:80)
4) TUIP (Transuretheral incision of the prostate) dan BNI ( Bledder Neck Incision )
Dilakukan pada hyperplasia prostat yang tidak terlalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya lebih muda. Sebelum melakukan tindakan ini harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostate dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal dan pengukuran kadar PSA. (Basuki B Purnomo, 2008:81)
5) Laser Prostatektomi
Bila dibandingkan dengan tindakan operasi , pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dilakukan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.(Basuki B Purnomo, 2008:81)
6) Tindakan Invasif Minimal
a) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan didalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44ᵒC menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan.
Energy panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat melunakan jaringan prostat yang membuntu uretra. Mordibitasnya relative rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien yang kondisinya kurang baik jika mengalami pembedahan. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil. (Basuki B Purnomo, 2008:82)
b) TUNA (Transurethral needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 100ᵒC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria. Basuki B Purnomo, 2008:82)
c) Pemasangan Stent (prostacath)
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pemebsaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak didaerah penis. Basuki B Purnomo, 2008:83)
d) HIFU (High intensity focused ultrasound)
Energy panas yang ditimbulkan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 Mhz. energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Q maksimal rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun.
Meskipun sudah banyak modalitas yang telah diketemukan untuk mengobati pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah TUR prostat. (Basuki B Purnomo, 2008:83)
e. Penatalaksanaan diet
Pada pasien BPH, penatalaksanaan dietnya antara lain:
1) Untuk menghindari terjadinya kanker prostat dapat dilakukan dengan konsumsi flavonoid, contohnya tomat dan makanan yang mengandung selenium.
2) Konsumsi buah dan sayuran yang mengandung antioksidan. Contoh buah dan sayuran cocok untuk pasien dengan BPH termasuk buah jeruk, tomat, beri, labu, sayuran berdaun hijau seperti bayam, collard hijau dan Tales.
3) Kurangi dan hindari konsumsi makanan yang dapat memperburuk keadaan. Contohnya: yogurt, keju, krim keju, ceri merah, mangga, anggur merah atau hijau, alpukat, jagung kuning, kacang polong, acar, sosis dan ikan atau daging yang tidak segar, saus, coklat dan makanan yang banyak mengandung MSG.
4) Hindari minuman yang dapat mengakibatkan BPH antara lain: bir, limun, kakao,alcohol, kopi. (Ricci, Ignacio, 2012)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN
1.1 Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat keperawatan
1) Suspect BPH: umur >60 tahun
2) Pola urinary: frekuensi, nocturia, disuria.
3) Gejala obstruksi leher buli-buli: prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatas aliran obstruksi seperti infeksi.
4) BPH: Hematuria (Sugeng Jitowiyono dan Weni Kristianasari, 2010: 120)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Perhatikan khusus pada abdomen: defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal isufisiensi dari obstruksi yang lama.
2) Distensi kandung kemih
3) Inspeksi: penonjolan pada daerah supra pubik: retensi urine
4) Palpasi: akan terasa adanya ballottement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil
5) Perkusi: redup: residual urine
6) Pemeriksaan penis: uretra adanya kemungkinan penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis
7) Pemeriksaan rectal toucher (warna dubur)
Syarat : buli-buli kosong/ dikosongkan
Tujuan : menentukan konsistensi prostat, menentukan besar prostat Sugeng Jitowiyono dan Weni Kristianasari, 2010: 120)
c. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi ditunjukkan untuk:
1) Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
2) Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
3) Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak.
Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a) Intra Vena Pyelografi (IVP): gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasissi
Tanda BPH: impresi prostat, hockey stick ureter
b) BOF: untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c) Retrografi dan voiding Cystouretrografi: untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.
5) USG: untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat jinak/ ganas. (Sugeng Jitowiyono dan Weni Kristianasari, 2010: 121)
d. Pemeriksaan Endoskopi
1) Pemeriksaan Urofloemetri
Berperan penting dalam diagnose dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
2) Pemeriksaan Laborat
a) Urinalisis ( tes glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, elektrolit, Na, protein/albumin.
b) RFT: evaluasi fungsi renal
c) Serum Acid Phosphatse: prostat Malignancy. (Sugeng Jitowiyono dan Weni Kristiyanasari,2010:122)
3.2 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Nyeri b.d proses penyakit (retensi urine, distensi urine,
NOC:
Pasien akan memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut( sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, selalu):
- Pasien mengenali awitan nyeri
- Menggunakan tindakan pencegahan
- Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
NIC:
- Manajement nyeri
Activity:
a. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehesif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi , kualitas, intensitas, keparahan nyeri dan factor presipitasinya
b. Ajarkan teknik penggunaan non farkologis seperti umpan-balik, distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing.
c. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.
d. Kendalikan factor lingkungan yang dapat memengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan.
e. Pastikan pemberian analgesik terapi.
2. Gangguan pola eliminasi urine b.d retensi urine, nokturia, urgensi
NOC: pola eliminasi urine dapat normal kembali
NIC : manajement eliminasi urine
Activity:
a. Ukur dan catat urine setiap kali berkemih
b. Anjurkan untuk berkemih setiap 2 – 3 jam
c. Palpasi kandung kemih tiap 4 jam
3. Resiko infeksi b.d infeksi dan perkembangan calculi
NOC:
Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan oleh pengendalian risiko komunitas: status imun, keperahan infeksi, terbebas dari tanda gejala infeksi.
NIC: Pengendalian infeksi
Activity:
a. Pantau tanda dan gejala infeksi(misalnya: suhu tubuh, denyut jantung, penampilan luka, penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise)
b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi( misalnya, usia lanjut, usia kurang dari 1 tahun, luluh imun, dan malnutrisi)
c. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit, absolute, protein serum, dan albumin)
4. Ansietas b.d tindakan operasi
NOC:
Ansietas berkurang, dibuktikan dengan tingkat ansietas ringan sampai sedang, selalu menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas, konsentrasi dan koping, memiliki tanda-tanda vital dalam batas yang normal.
NIC: Penurunan ansietas
Activity:
a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik
b. Pada saat ansietas berat, damping pasien, bicara dengan tenang, dan berikan ketenangan serta ras nyaman
c. Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan, serta terapi okupasi untuk menurunkan ansietas
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hiperplasia prostat Benigna atau BPH ( Benign Prostat Hiperplasia ) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika. Pada usia lanjut pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi.
4.2 Saran
Dari penjelasan diatas penulis memiliki beberapa saran diantaranya:
a. Pada penderita BPH dianjurkan untuk mengurangi konsumsi kopi, alkohol, makanan yang pedas dan asin serta coklat karena dapat memperparah kondisi penyakit.
b. Batasi penggunaan obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin karena dapat menyebabkan pembesaran prostat.
c. Bagi para penderita hendaknya tidak perlu cemas terhadap penyakitnya karena tindakan operasi dapat mengatasi pembesaran prostat.
4.3 Kata Penutup
Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam dan Fransisca. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Purnama, Basuki B. 2008. Dasar-dasar Urologi Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto.
Jitowiyono, Sugeng dan Weni Kristiyanasari.2010. Asuhan Keperawatan Post Operasi Pendekatan Nanda, NIC, NOC.Yogyakarta:Nuha Medika.
Ricci, Ignacio. 2012. “Benigna Hiperplasia Prostat”, (Online), ( http://kioswikan.wordpress.com/category/benigna-hiperplasia-prostat. html, diakses pada 3 Juni 2013 )
Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : diagnosis NANDA, intervensi NIC, criteria hasil NOC. Jakarta : EGC.