askep TB Paru


BAB I
PENDAHULUAN

2.0  Latar Belakang Masalah
Salah satu penyakit menular yang ada adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis (TB), sebagian besar TB umumnya menyerang paru-paru namun juga dapat menyerang organ lainnya. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam, sehingga dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini dapat menyerang pada semua orang, baik anak-anak maunpun orang dewasa. Penyakit ini sangat mudah ditularkan pada orang lain, bakteri Microbacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru, kemudian bakteri tersebut dapat menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas (bronkus) atau menyerang langsung ke bagian tubuh lainnya.
TB Paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua penderita. TB yang menyerang jaringan paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang dapat menular. TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu, Indonesia menduduki peringkat ke-3 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TB dunia.
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Laporan WHO tentang angka kejadian TBC evaluasi selama 3 tahun dari 2008, 2009, 2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Secara global, angka kejadian kasus kejadian TBC 128 per 100.000 penduduk. Data ini menunjukkan bahwa kasus TBC berada di sekitar kita.
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita. Persebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang dikeluarkan bersama dahak berupa droplet dan berada diudara disekitar penderita TB. Untuk membatasi terjadinya penyakit TB paru pemerintah mengupayakan strategi untuk menanggulanginya seperti dengan mencanangkan program DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) yang mana fokus utama dari program ini adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular.
Oleh karena itu, demi tercapainya program tersebut perlu adanya upaya untuk menambahkan pengetahuan pada masyarakat mengenai pemahaman anatomi sistem respirasi yang terkait erat dengan penyakit TB paru, pengertian tentang, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis, keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita TB paru.



BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Tuberculosis paru-paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun  yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008).




2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1- 4 mm dengan tebal 0,3 – 0,6 mm. sebagian besar komponen M. tuberculosis adalah berupa lemak (lipid) sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, M. tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Irman somantri, 2008).

Faktor Risiko
        Mereka yang paling berisiko terpajan dengan basil adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif. Kelompok ini antara lain tunawisma yang tinggal di tempat penampungan yang terdapat kasus tuberculosis, serta anggota keluarga paisen. Anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan. Imigran ke Amerika Serikat yang berasal dari Negara berkembang sering mengidap infeksi aktif atau laten.
Tenaga kesehatan yang merawat pasien tuberculosis, dan mereka yang menggunakan fasilitas klinik perawatan atau rumah sakit yang juga digunakan oleh penderita tuberculosis juga berisiko terpajan dan terjangkit penyakit TB. Di antara mereka yang terpajan basil, individu yang sistem imunnya tidak adekuat, seperti mereka yang kekurangan gizi, individu lanjut usia atau bayi dan anak-anak, individu yang mendapat obat imunosupresan, dan mereka yang mengidap virus imunodiferensiasi manusia (HIV) kemungkinan besar akan terinfeksi. Virulensi galur kuman juga mempengaruhi penularan, jenis galur tertentu teridentifikasi sanagt virulen. Pengendalian TB terhambat oleh munculnya resisten multi-obat dan efek sinergis pada HIV/AIDS (Elizabeth J. Corwin, 2009).

2.3 Manifestasi Klinis
Pada banyak individu yang terinfeksi tuberculosis adalah asimptomatis. Pada individu lainnya, gejala berkembang secara bertahap sehingga gejala tersebut tidak dikenali sampai penyakit telah masuk sampai tahap lanjut. Bagaimanapun, gejala dapat timbul pada individu yang mengalami imunosupresif dalam beberapa minggu sampai terpajan oleh basil.
Manifestasi klinis yang umum termasuk keletihan, penurunan berat badan, letargi, anoreksia (kehilangan nafsu makan), dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari. Berkeringat malam dan ansietas umum sering tampak. Dispnea, batuk purulen produktif disertai nyeri dada, dan hemoptsis adalah juga temuan yang umum (Niluh dan Cristiantie, 2003).


2.4 Patofisiologi
        Infeksi primer. Pertama kali klien terinfeksi oleh tuberculosis disebut sebagai “infeksi primer” dan biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi primer mungkin hanya berukuran mikroscopis, dan karenanya tidak tampak pada foto ronsen. Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi nekrotik (perkejuan) tetapi bisa saja tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang terisi oleh masa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati, dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair dan dapat mengalir ke dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan ronsen dada.
Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk jaringan parut, dan pada akhirnya terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel ghon. Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali meski telah bertahun-tahun, dan menyebabkan infeksi sekunder.
Infeksi TB primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan proteinnya. Respon imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi sel-sel T dan terdeteksi oleh reaksi positif pada tes kulit tuberkulin. Perkembangan sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada semua sel-sel tubuh 2-6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil hidup berada dalam tubuh. Imunitas didapat ini biasanya menghambat pertumbuhan basil lebih lanjut dan terjadinya infeksi aktif.
Faktor yang tampaknya mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif termasuk:
    usia lanjut
    imunosupresi
    infeksi HIV
    malnutrisi
    alkoholisme dan penyalahgunaan obat
    adanya keadaan penyakit lain
    predispose genetic
Infeksi sekunder. Selain penyakit primer yang progresif, infeksi ulang juga mengarah pada bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB dapat tetap laten selama bertahun-tahun dan kemudian teraktifkan kembali jika daya tahan klien menurun. Penting artinya untuk mengkaji kembali secara periodik klien yang telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui adanya penyakit aktif (Niluh dan Christie, 2003). 

2.5 Pathway
      Terlampir


2.6 Komplikasi
Reaktivasi parut tuberculosis lama dapat terjadi bila seseorang pasien mengalami gangguan imun. Kemoprofilaksis dengan isoniazid sering diberikan sebelum pengobatan imunosupresif (kemoterapi, transplantasi organ). Bronkiektaksis dan kavitas paru dengan infeksi jamur sekunder (misetoma), lesi nervus kranialis, dan obstruksi saluran ginjal dapat terjadi akibat pembentukan parut yang disertai penyembuhan setelah TB.
Pengobatan yang tidak adekuat atau tidak patuh menyebabkan munculnya strainmikrobakteri multiresisten yang dapat sulit dieradiksi. Supervisi  kompulsif dan isolasi pasien tersebut mungkin diperlukan (Jeremy dan Richard, 2007).

2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Deteksi dan diagnosis TB dicapai dengan tes objektif dan temuan pengkajian subjektif. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus terus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap TB bagi kelompok yang berisiko tinggi. Infeksi TB primer primer sering tidak dikenali karena biasanya infeksi ini asimptomatis.
Lesi pengapuran dan tes kulit positif sering kali merupakan satu-satunya indikasi infeksi TB primer telah terjadi. Pemeriksaan diagnostik berikut biasanya dilakukan untuk menegakkan infeksi TB:
    Kultur sputum: positif untuk M. Tuberculosis pada tahap aktif penyakit
    Ziehl-Neeslen (pewarnaan tahan asam): positif untuk basil tahan asam
    Tes kulit mantoux(PPD, OT): reaksi yang signifikan pada individu yang sehat. Biasanya menunjukan TB dorman atau infeksi yang disebabkan mikrobakterium yang berbeda,
    Ronsen dada: menunjukkan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas paru, deposit kalsium dari lesi primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. Perubahan yang menandakan TB lebih lanjut kavitasi, area fibrosa.
    Biopsi jarum jaringan paru: positif untuk granuloma TB. Adanya sel-sel raksasa menunjukkan nekrosis.
    ADG: mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan dan lerusakan paru residual.
    Pemeriksaan fungsi pulmonal: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang rugi, peningkatan rasio udara residual terhadap kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder akibat infiltrasi atau fibrosis parenkim (Niluh dan Cristiantie, 2003).

2.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Kebanyakan individu dengan TB aktif yang baru didiagnosa tidak di rawat di rumah sakit. Jika TB paru terdiagnosa pada individu yang sedang di rawat, klien mungkin akan tetap di rawat sampai kadar obat terapeutik telah ditetapkan. Beberapa klien dengan TB aktif mungkin di rawat di rumah sakit karena alasan:
    Mereka sakit akut
    Situasi kehidupan mereka dianggap berisiko tinggi
    Mereka diduga tidak patuh terhadap program pengobatan
    Terdapat riwayat TB sebelumnya dan penyakit aktif kembali
    Terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut
    Tidak terjadi perbaikan sesudah terapi, dan
    Mereka resisten terhadap pengobatan yang biasa, membutuhkan
obat garis ke-2 dan ke-3. Dalam situasi seperti ini, perawat singkat di rumah sakit diperlukan untuk memantau keefektifan terapi dan efek samping obat-obat yang diberikan.
Klien dengan diagnosa TB aktif biasanya mulai diberikan tiga jenis medikasi atau lebih untuk memastikan bahwa organisme yang resisten telah disingkirkan. Dosis dari beberapa obat mungkin cukup besar karena basil sulit untuk dibunuh. Pengobatan berlanjut cukup lama untuk menyingkirkan atau mengurangi secara substansial jumlah basil dorman atau semidorman. Terapi jangka panjang yang tak terputus merupakan kunci sukses dalam pengobatan TB.
Medikasi yang digunakan untuk TB mungkin dibagi menjadi preparat primer dan preparat baris kedua. Preparat primer hampir selalu diresepkan pertama kali sampai laporan hasil kultur dan labolatorium memberikan data yang pasti. Klien dengan riwayat TB yang tidak selesai mungkin mempunyai organisme yang menjadi resisten dan preparat sekunder harus digunakan.
Lamanya pengobatan beragam, beberapa program mempunyai pendekatan dua fase:
    Fase intensif yang menggunakan dua atau tiga jenis obat, ditujukan untuk menghancurkan sejumlah besar organisme yang berkembang baik dengan cepat, dan
    Fase rumatan, biasanya dengan dua obat, diarahkan pada pemusnahan sebagian besar basil yang masih tersisa.
Program pengobatan dasar yang direkomendasikan bagi klien yang sebelumnya belum diobati adalah dosis harian isoniazid, rifampin, dan pirazinamid selama 2 bulan. Pengobatan ini diikuti dengan isoniazid dan rifampin selama 4 bulan. Kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi. Jika kepatuhan terhadap pendosisan harian menjadi masalah, maka diperlukan protokol TB yang memberikan medikasi dua atau tiga kali seminggu. Program ini biasanya diberikan di klinik untuk memastikan klien menerima obat yang di haruskan.
Jika medikasi yang digunakan tampak tidak efektif (misalnya: memburuknya gejala, peningkatan infiltrat, atau pembentukan kavitas), program harus dievakuasi kembali, dan kepatuhan klien harus dikaji. Setidaknya dua medikasi (tidak pernah hanya satu) ditambahkan pada program terapi TB yang gagal.
Medikasi yang digunakan untuk mengobati TB mempunyai efek samping serius, bergantung pada obat spesifik yang diresepkan. Toleransi obat, efek obat, dan toksisitas obat bergantung pada faktor-faktor seperti usia, dosis obat, waktu sejak obat terakhir yang digunakan, formula kimia dari obat, fungsi ginjal dan usus, dan kepatuhan klien. Klien penderita TB yang tidak membaik atau yang tidak mampu menoleransi medikasi mungkin membutuhkan pengkajian dan pengobatan pada fasilitas medis yang mengkhususkan dalam pengobatan TB paru berkomplikasi.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Tentukan apakah pasien pernah terpajan pada individu dengan TB atau tidak. Sering kali “sumber” dari infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak pernah ditemukan. Pada saat yang sama, kontak erat pasien harus diidentifikasi sehingga mereka dapat menjalani “follow-up” untuk menentukan apakah mereka terinfeksi dan mempunyai penyakit aktif atau tes tuberculin positif. Keluhan pasien yang paling umum adalah batuk produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB mencakup batu produktif, kenaikan suhu tubuh siang hari, reaksi tuberkulin dengan indurasi 10 mm atau lebih dan rotgen dada yang menunjukkan infiltrat pulmonal (Niluh dan Christie, 2003). 
c. Penatalaksanaan Diet
Terapi diet bertujuan untuk memberikan makanan secukupnya guna memperbaiki dan mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta memperbaiki status gizi agar penderita dapat melakukan aktivitas normal.
Terapi diet untuk penderita kasus Tuberculosis paru adalah:
    Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk mencapai berat badan normal
     Protein yang tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak meningkatkan kadar albumin serum yang rendah (75-100 gram)
    Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energy total
    Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energy total
    Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total
Macam diet untuk penyakit TBC:
    Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP I)
Energy: 2600 kkal, protein 100 gram (2/kg BB)
    Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II)
Energy: 3000 kkal, protein 125 gram (2,5 gr/kg BB)




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
    Data pasien
penyakit tuberkulosis (TB) dapat menyerang manusia mulai dari usia anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada pasien yang tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya kedalam rumah sangat minim
tuberkulosis pada nak dapat terjadi di usia berapapun , namun usia paling umum antara 1-4 tahun. Anak-anak lebih sering mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary) dibanding Tb paru-paru dengan perbandingan 3:1. Tuberkulosis luar paru-paru adalah TB berat yang terutama yang ditemukan pada usia <3 tahun . angka kejadian (prevalensi) TB paru-paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja di mana TB paru-paru menyerupai kasus pada pasien dewasa (sering disertai lubang/kavitas pada paru-paru).
    Riwayat kesehatan
Keluhan yang sering muncul antara lain :
    Demam : subfebris, febris (40-41° C) hilang timbul
    Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini terjadi untuk membuang/mengeluarkan produksi radang yang dimulai pada batuk yang kering sampai dengan batuk purulen (menghasilkan sputum).
    Sesak nafas : bila sudah lanjut dimana ilfritasi radang sampai setengah paru-paru.
    Nyerri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila ilfritasi radang sampai pleura sehingga menimbulkan pleuritis .
    Malaise : ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berta badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, dan keringat malam.
    Sianosis, sesak nafas, dan kolaps : merupakan gejala analektesis. Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernapas dan jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit tampak banyangan hitam dan diafragma menonjol ke atas
    Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi merupakan penyakit infeksi menular
    Pemeriksaan fisik
    Pada tahap ini sulit diketahui
    Ronki basah, kasar, dan nayring
    Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberikan suara umforik.
    Pada keadaan lanjut terjadi atropi, retraksi interkostal, dan fibrosis.
    Bila mengenai pleura terjadi effusi pleura (perkusi memberikan suara pekak)
    Pemeriksaan tambahan
    Spultum culture : untuk memastikan apakah keberadaan M. Tubercullosis pada stadium aktif.
    Ziehl neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluid) posisi untuk BTA
    Skin test (PPD, mantoux, tine, and vollmer patch) : reaksi positif  (area indurasi 10 mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intradenal) mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibodi, tetapi tidak mengindikasikan penyakit sedang aktif.
    Chest X-ray : dapat mengindikasikan ilfiltrasi kecil pada lesi awal dibagian atas paru-paru, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau cairan pleura. Perubahan yang emngindikasikan TB yang lebih berta dapat mencakup area berlubang dan fibrosa.
    Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan CSF, serta biopsi kulit) : positif untuk M. Tuberkulosis.
    Needle biopsi of lung tissue : positif  untuk granuloma TB, adanya sel-sel besar yang mengindikasikan nekrosis.
    Elektrolit : mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya infeksi ; misalnya hiponatremia megakibatkan retensi air, dapat ditemukan pada Tb paru-paru kronis lanjut.
    ABGs : mungkin abnormal, tergantung  lokasi, berat, dan sisa kerusakan paru-paru
    Bronkografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronkhus atau kerusakan parau-paru karena TB.
    Darah : lekositosis, LED menigkat
    Tes fungsi paru-paru : VC menurun, dead space menigkat, TLC menigkat, dan menurunnya saturasi O2 yang merupakan gejala sekunder dari fibrosis/infiltrasi perenkim paru-paru dan penyakit pleura.
    Penatalaksanaan
    Penyuluhan
    Pencegahan
    Pemberian obat-obatan:
    OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
    Bronkodilator
    Ekspektoran
    OBH (Obat Batuk Hitam)
    Vitamin
    Fisioterpai dan rehabilitasi
    Konsultasi secara teratur


3.2 Diagnosa Keperawatan
    1. Risiko bersihan jalan napas tidak efektif
    2. Risiko ketidak seimbangan nutrisi
    3. Risiko penyebaran infeksi

 3.3 Rencana Keperawatan dan Rasional Tindakan
Rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru adalah sebagai berikut dengan diagnosis keperawatan :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan:
    sekret kental atau mengandung darah
    fatigue
    kemampuan batuk kurang
    edema trakea atau faring
Tujuan:
Menjadikan jalan napas menjadi bersih dan efektif
Intervensi dan Rasional:
    independen
    mengkaji fungsi respirasi antara lain: suara, jumlah, irama, dan kedalaman napas serta catatan pula mengenai penggunaan atot napas tambahan.
Rasionalnya:
adanya perubahan fungsi respirasi dan penggunaan otot tambahan menandakanan kondisi penyakit yang masih dalam kondisi penanganan penuh.
    Mencatat kemampuan untuk mengeluarkan sekret atau batuk secara efektif
Rasionalnya:
Ketidakmampuan mengeluarkan sekret menjadikan timbulnya penumpukan berlebihan pada saluran pernapasan
    Mengatur posisi tubuh semi atau high fowler. Membantu pasien untuk berlatih batuk secara efektif dan menarik napas dalam
Rasionalnya:
Posisi semi atau high fowler memberikan kesempatan paru-paru berkembang secara maksimal akibat diafragma turun ke bawah. Batuk efektif mempermudah ekspektorasi mukus.
    Membersihkan sekret dari dalam mulut dan trakea, suction jika memungkinkan
Rasionalnya:
Pasien dalam kondisi sesak cenderung untuk bernapas melalui mulut yang jika tidak ditindaklanjuti akan mengakibatkan stomatis
    Memberikan minum kurang lebih 2.500 ml/hari, menganjurkan untuk minum dalam kondisi hangat jika tidak ada kontra indikasi
Rasionalnya:
Air digunakan untuk menggantikan keseimbangan cairan tubuh akibat cairan banyak keluar melalui pernapasan. Air hangat akan mempermudah pengenceran sekret melalui proses konduksi yang mengakibatkan arteri pada area sekitar leher vasodilatasi dan mempermudah cairan dalam pembuluh darah dapat diikat oleh mukus atau sekret.
    Kolaborasi
    Meberikan O2 udara inspirasi yang lembab
Rasionalnya:
Berfungsi meningkatkan kadar tekanan parsial O2 dan saturasi O2 dalam darah
    Memberikan pengobatan atas indikasi: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid
Rasionalnya:
Berfungsi untuk mengencerkan dahak
    Memberikan agen antiinfeksi, misal: obat primer, pyrazinamide (PZA), monitor pemeriksaan labolatorium (sputum)
Rasionalnya:
Mempertebal dinding saluran pernapasan (bronkus), menurunkan keaktifan dari mikroorganisme akan menurunkan respon inflamasi sehingga akan berefek pada berkurangnya produksi sekret.

2. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan:
    perasaan mual
    batuk produktif
 Tujuan:
Keseimbangan nutrisi akan terjaga.
Intervensi:
    independen
    mendokumentasikan status nutrisi pasien, serta mencatat turgor kulit, berat badan saat ini, tingkat kehilangan berat badan, integritas mukosa mulut, tonus perut dan riwayat nausea/vomit atau diare. Memonitor intake-output dan berat badan secara terjadwal.
Rasionalnya:
menjadi data fokus untuk menentukan rencana tindakan selanjutnya
    memberikan oral care sebelum dan sesudah penatalksanaan respiratori.
Rasionalnya:
meningkatkan kenyamanan daerah mulut sehingga akan meningkatkan perasaan nafsu makan
    menganjurkan makan sedikit, tapi sering.
Rasionalnya:
meningkatkan intake makanan dan nutrisi pasien, terutama kadar protein tinggi yang dapat meningkatkan mekanisme tubuh dalam proses penyembuhan
    menganjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah terutama yang disukai oleh pasien dan kemudian makan bersama pasien jika tidak ada ko traindikasi.
Rasionalnya:
merangsang pasien untuk bersedia meningkatkan intake makanan yang berfungsi sebagai sumber energi bagi penyembuhan.
    Kolaborasi
    Mengajukan pada ahli gizi untuk menentukan komposisi diet
Rasionalnya:
Menentukan kebutuhan nutrisi yang tepat bagi pasien
    Memonitor pemeriksaan labolatorium, misalnya: serum protein, albumin
Rasionalnya:
Mengontrol keefektifan tindakan terutama dengan kadar protein darah
    Memberikan vitamin sesuai indikasi
Rasionalnya:
Meningkatkan komposisi tubuh akan kebutuhan vitamin dan nafsu makan pasien.
   
3. Risiko penyebaran infeksi, yang berhubungan dengan:
    tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri, menurunnya aktivitas silia atau sekret statis
    kerusakan jaringan atau terjadi infeksi lanjutan
    malnutrisi
    paparan lingkungan
    kurangnya pengetahuan untuk mencegah paparan dari kuman patogen
Tujuan:
Mencegah terjadinya penyebaran infeksi selama perawatan
Intervensi:
    independen
    mengkaji patologi penyakit (fase aktif/inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui airborne droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa, dll.
Rasionalnya:
Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif  tidak berarti tubuh pasien sudah terbebas dari kuman tuberkulosis
    Mengidentifikasi risiko penularan kepada orang lain seperti anggota keluarga dan teman dekat. Menginstruksikan pada pasien jika batuk/bersin, maka ludahkan ke tissue.
Rasionalnya:
Mengurangi risiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama dengan pasien
    Menganjurkan penggunaan tissue untuk membuang sputum.me-review pentingnya mengontrol infeksi, misalnya dengan menggunakan masker
Rasionalnya:
Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat meminimalkan penyebaran infeksi melalui droplet
    Memonitor suhu sesuai indikasi
Rasionalnya:
Peningkatan suhu tubuh menandakan terjadinya infeksi sekunder.



BAB IV
PENUTUP

   4.1    Simpulan
Tuberculosis paru-paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun  yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Manifestasi klinis yang umum pada TB paru termasuk keletihan, penurunan berat badan, letargi, anoreksia (kehilangan nafsu makan), dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari. Berkeringat malam dan ansietas umum sering tampak. Dispnea, batuk purulen produktif disertai nyeri dada, dan hemoptsis adalah juga temuan yang umum.

4.2    Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis mempunyai beberapa saran, diantaranya adalah :
1.    Agar pembaca dapat mengenali tentang pengertian Tuberculosis paru-paru (TB Paru).
2.    Agar pembaca dapat mengetahui tanda Tuberculosis paru-paru (TB Paru)



DAFTAR PUSTAKA

Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Ssistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Asih, Niluh G. Y. dan Christantie  Effendy. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Denny Indra. 2010. “Penatalaksanaan Gizi pada Pasien TB Paru”, (Online), (http://poenyasemua.blogspot.com/2010/11/penatalaksanaan-gizi-pada-pasien-tb.html, diakses pada 29 Oktober 2012).
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : askep TB Paru