askep SLE (Systemic Lupus Erithematosus)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Systemic Erithematosus Lupus (SEL) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Penyakit LES merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena penyakit ini. Kementerian Kesehatan menyatakan lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus. Sebagian besar penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih dari 100.000 setiap tahun. Di Indonesia jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan, 2012).
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia produktif.  Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah  wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun, masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik, sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak menelan korban. Penyakit ini dibagi menjadi tiga kategori yakni discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing kategori tersebut memiliki gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang berbeda-beda.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar, pengobatan yang diberikan haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien.
Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mengenai penyakit systemik  eritematosus lupus, pengertian tentang systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis, keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita lupus.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Definisi Lupus Eritematosus Systemik (LES)
Lupus Eritematosus Systemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Komplek antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas III, kemudian terjadi peradangan kronik (Elizabeth, 2009).
Systemic Eritematosus Lupus (SEL) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan (Sylvia dan Lorraine, 1995).
Ada tiga bentuk lupus yang dikenal, yaitu:
a.     Lupus systemik
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun kronis dimana tubuh menghasilkan antibodi melawan jaringannya sendiri. Kompleks imun ini bersirkulasi di dalam darah dan merangsang reaksi inflamasi di pembuluh darah kecil, jaringan penyambung, dan membran serosa seluruh tubuh, sehingga menimbulkan berbagai gejala.
b.    Lupus discoid
Yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit.
c.    Lupus karena obat
Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat tertentu, seperti hidralazin (Apresoline), metildopa (Aldomet), klorpromazin (Thorazine), prokainamid (Pronestyl) (Barbara Engram, 1998).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
a. Etiologi
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.
Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami LES dibandigkan pria, karena peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyususi.
Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama masa subur. Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahn-tahun, atau dapat berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).
b.    Faktor Risiko
1)    Faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
2)    Faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.
3)    Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di pemuluh darah.
4)    Imunitas
Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5)    Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:
a)    Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
b)    Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin, peninsilamin, dan kuinidin.
c)    Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik, dan griseofulvin.
6)    Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7)    Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).

2.3 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala yang palin sering adalah sebagai berikut:
a.    Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
b.    Demam akibat peradangan kronik
c.    Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung, kata Lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng seperti serigala.
d.    Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
e.    Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
f.    Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
g.    Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
h.    Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
i.    Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).

2.4 Patofisiologi LES
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

2.5 Pathway   LES
(terlampir)

2.6 Komplikasi LES
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita LES adalah sebagai berikut:
a.    Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III
b.    Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung)
c.    Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering terjadi bronkhitis.
d.     Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
e.    Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).

2.7    Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang di lakukan terhadap pasien LES meliputi:
a.    ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah.
b.    Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
c.    Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien.
d.    Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.
e.    Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
f.    Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid, sindrom sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.
g.    Anti ssDNA (single stranded)
h.    Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif Mansjoer, 2000).

2.8    Penatalaksanaan LES
a.    Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:
1)    Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.
2)    Kortikosteroid
3)    Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis.
4)    Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
a)    Diagnosis pasti sudah ditegakkan
b)    Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
c)    Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping
d)    Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine, 1995).
b.    Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1)    Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
2)    Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3)    Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa Tri U., 2012).
c.    Penatalaksanaan diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1  Pengkajian Keperawatan
Riwayat atau adanya faktor risiko. Meskipun LES bukan herediter, insiden kadang-kadang lebih tinggi diantara individu dengan riwayat keluarga positif.
Pemeriksaan fisik berdasarkan pada survei umum dapat menunjukkan keterlibatan multisystem, karena SLE adalah penyakit inflamasi dari jaringan penyambung yang mempengaruhi kulit, sendi membran pleural dan pericardial, ginjal, sumsum tulang, dan sistem saraf pusat. Asosiasi Reumatisme Amerika telah mengidentifikasi karakteristik fisik yang berbeda dan temuan labolatorium dari SLE. Diagnosis dari SLE dibuat dengan empat temuan berikut secara bersama-sama (Whitney, 1989):
a.    Ruam malar – berbentuk kupu-kupu melintang di hidung dan pipi, mungkin unilateral atau bilateral
b.    Pleuritis atau perikarditis
c.    Paliartritis – sendi nyeri terinnflamasi yang migrasi dan jarang mengakibatkan deformitas sendi
d.    Fotosensitif – terjadi ruam bila terpajan pada sinar matahari secara terus menerus
e.    Ruam discoid – bercak, merah, ruam kering pada area yang terpajan pada matahari
f.    Perubahan sistem saraf pusat seperti kejang atau psikosis
g.    Ulserasi membran mukosa (mulut, hidung, dan vagina)
h.    Abnormalitas hematologis (anemia, trombositopenia, leukopenia)
i.    Peningkatan antibodi antinuklear (ANA)
j.    Proteinuria, serpihan seluler, atau pus tanpa bakteriuria ditunjukkan oleh urinalis
Gejala tambahan meliputi:
a.    Pembesaran limpa dan hepar
b.    Penurunan berat badan, demam, kelelahan
c.    Fenomena Raynaud’s (perubahan warna pucat, sianosis, kemerahan pada jari disertai dengan nyeri dan parestesia)
Kaji terhadap faktor yang mencetuskan eksaserbasi:
a.    Kelelahan berlebihan
b.    Pemajanan lama pada sinar ultraviolet (sinar matahari langsung)
c.    Pembedahan
d.    Obat tertentu seperti penisilin, sulfonamid, dan kontrasepsi oral
Dan selanjutnya kaji perasaan pasien tentang kondisi dan dampak gaya hidup (Barbara Engram, 1998).
3.2    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan bagi penderita LES adalah sebagai berikut:
a.    Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan
b.    Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi
c.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap SLE

3.3    Intervensi Keperawatan dan Rasional Tindakan
Intervensi keperawatan dan rasional tindakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a.    Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan
Tujuan:
Meringankan nyeri, dapat beristirahat dan mendapat pola tidur yang adekuat

NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.
1.       suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf. pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor.
2
     Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.
Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
3
     Kaji keluhan nyeri. Perhatikan lokasi/karakter dan intensitas (skala 0-10).
nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
4
.      Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi
menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.
5
 D Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
.      pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
6
Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
      memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7
      Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi
membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
(Gusti Pandi Liputo, 2012).
a.       Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi
Tujuan:
dapat menunjukkan perilaku/teknik untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan
Menentukan garis dasar menentukan dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2
Pertahankan/intruksikan dalam hygien, misalnya, membasuh dan kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.
Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3
Gunting kuku secara teratur
Kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4
Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, misalny, duoderm, sesuai petunjuk.
Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan
(Gusti Pandi Liputo, 2012).

b.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap LES
Tujuan:
Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Evaluasi rutinitas harian pasien. Bantu perencanaan jadwal setiap hari untuk aktivitas yang meliputi periode istirahat sering
Istirahat membantu menyeimbangkan energi tubuh. Keseimbangan aktivitas fisik pada istirahat membantu mengontrol kelelahan dan peningkatan ketahanan.
2
Anjurkan pasien untuk menggunakan obat yang diresepkan untuk anemia dan dan menyimpan
Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpagangguan
3
Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan rentang rentang gerak sendi aktif/pasif
Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat
4
Dorong penggunaan teknik menejemen stres, contoh relaksasi progresif, visualisasi, bimbingan imajinasi. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton TV, radio, dan membaca.
Meningkatkan relaksasi dan penghematan enrgi, memusatkan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan koping.
(Gusti Pandi Lupito, 2012).



BAB IV
PENUTUP


4.1 Simpulan
Dari penjelasan yang kami sampaikan dalam makalah ini, maka dapat disimpulan bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Sehingga sering terjadi keterlambatan diagnosis penyakit LES.
4.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.



DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Mrdikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Gusti Pandi Liputo. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan  Sistem Imunologi Lupus”, (Online), (http://gustinerz.wordpress.com/2012/04/06/pdf-asuhan-keperawatan-lupus-les/, diakses 25 Oktober 2012).
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : askep SLE (Systemic Lupus Erithematosus)